A. Sifat
dan Fungsi Agama Dalam Masyarakat
Agama adalah
fenomena hidup manusia. Dorongan untuk bergama, penghayatan terhadap wujud
agama serta bentuk pelaksanaanya dalam masyarakat bias berbeda-beda, namun pada
hakekatnya sama, yaitu, bahwa semua agama merupakan jawaban terhadap kerinduan
manusia yang paling dalam yang mengatasi semua manusia. Pada hakekatnya seluruh
manusia ini secara fithriah mempunyai potensi untuk percaya kepada Yang Maha
Esa dank arena agama yang mengajarkan tentang konsepsi ketuhanan merupakan
bagain yang tak terpisahkan dan kehidupan umat manusia.
Agama merupakan faktor yang sangat
penting dan sangat menentukan bagi kehidupan jutaan manusia. Agama seringkali
menjadi motif dalam keputusan-keputusan politik, sosial ekonomi, serta
pernyataan-pernyataan kebudayaan. Agama dapat mempersatukan dari berbagai suku
dan bangsa di dunia ini. Agama dapat menjadi tali pengikat persaudaraan yang
kekal, yang melampaui batas-batas wilayah atau georafi. Orang-orang beragama
lebih dekat satu sama lain karena mereka mengenal seperangkat nilai-nilai dasar
sebagai pedoman bagi kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Agama mempunyai 2
dimensi yaitu transcendental (ukhrowi) menyangkut hubungan manusia dengan
Tuhannya dan mondial (duniawi) menyangkut hubungan manusia dengan manusia lain
dan lingkungan.
B. Tipe Hubungan
Agama Dengan Masyarakat
Hubungan agama dengan masyarakat
dapat mencerminkan tiga tipe, meskipun tidak menggambarkan sebenarnya secara
utuh (Elizabeth K. Nottingham, 1954), yaitu:
1. Masyarakat yang terbelakang dan nilai- nilai sakral
Masyarakat
tipe ini kecil, terisolasi, dan terbelakang. Anggota masyarakat menganut agama
yang sama. Oleh karenanya keanggotaan mereka dalam masyarakat, dalam kelompok
keagamaan adalah sama.
2. Masyarakat- masyarakat pra- industri yang sedang
berkembang
Keadaan masyarakat tidak terisolasi, ada
perkembangan teknologi yang lebih tinggi daripada tipe pertama. Agama
memberikan arti dan ikatan kepada sistem nilai dalam tipe masyarakat ini. Dan
fase kehidupan sosial diisi dengan upacara- upacara tertentu.
3. Masyarakat- masyarakat industri sekular
Masyarakat
industri bercirikan dinamika dan teknologi semakin berpengaruh terhadap semua
aspek kehidupan, sebagian besar penyesuaian- penyesuaian terhadap alam fisik,
tetapi yang penting adalah penyesuaian- penyesuaian dalam hubungan kemanusiaan
sendiri. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi mempunyai konsekuensi
penting bagi agama, Salah satu akibatnya adalah anggota masyarakat semakin
terbiasa menggunakan metode empiris berdasarkan penalaran dan efisiensi dalam
menanggapi masalah kemanusiaan, sehingga lingkungan yang bersifat sekular
semakin meluas. Watak masyarakat sekular menurut Roland Robertson (1984), tidak
terlalu memberikan tanggapan langsung terhadap agama. Misalnya pemikiran agama,
praktek agama, dan kebiasaan- kebiasaan agama peranannya sedikit.
C. Pelembagaan
Agama
Agama begitu universal, permanen
(langgeng) dan mengatur dalam kehidupan, sehingga bila tidak memahami agama,
akan sukar memahami masyarakat. Agama melalui wahyunya atau kitab sucinya
memberikan petunjuk kepada manusia guna memenuhi kebutuhan mendasar, yaitu
selamat dunia dan di akhirat, di dalam perjuangannya tentu tidak boleh lalai.
Untuk kepentingan tersebut perlu jaminan yang memberikan rasa aman bagi
pemeluknya. Maka agama masuk dalam sistem kelembagaan dan menjadi sesuatu yang
rutin. Agama menjadi salah satu aspek kehidupan semua kelompok sosial,
merupakan fenomena yang menyebar mulai dari bentuk perkumpulan manusia,
keluarga, kelompok kerja, yang dalam beberapa hal penting bersifat keagamaan.
Dan terbentuklah organisasi keagamaan untuk mengelola masalah keagamaan. Yang
semula terbentuk dari pengalaman agama tokoh kharismatik pendiri organisasi,
kemudian menjadi organisasi kegamaan yang terlembaga. Lembaga keagamaan
berkembang sebagai pola ibadah, ide- ide, ketentuan (keyakinan), dan tampil
sebagai bentuk asosiasi atau organisasi. Tampilnya organisasi agama akibat
adanya kedalaman beragama, dan mengimbangi perkembangan masyarakat dalam hal
alokasi fungsi, fasilitas, produksi, pendidikan dan sebagainya.
D. Agama
Sebagai Faktor Konflik Di Masyarakat
Agama dalam satu sisi dipandang oleh
pemeluknya sebagai sumber moral dan nilai, sementara di sisi lain dianggap
sebagai sumber konflik. Menurut Afif Muhammad : Agama acap kali menampakkan diri
sebagai sesuatu yang berwajah ganda”. Sebagaimana yang disinyalir oleh John
Effendi yang menyatakan bahwa Agama pada sesuatu waktu memproklamirkan
perdamaian, jalan menuju keselamatan, persatuan dan persaudaraan. Namun pada
waktu yang lain menempatkan dirinya sebagai sesuatu yang dianggap garang-garang
menyebar konflik, bahkan tak jarang, seperti di catat dalam sejarah,
menimbulkan peperangan.
Sebagaiman pandangan Afif Muhammad, Betty R. Scharf
juga mengatakan bahwa agama juga mempunyai dua wajah. Pertama, merupakan
keenggaran untuk menyerah kepada kematian, menyerah dan menghadapi frustasi.
Kedua, menumbuhkan rasa permusuhan terhadap
penghancuranb ikatan-ikatan kemanusiaan. Fakta yang terjadi dalam masyarakat
bahwa “Masyarakat” menjadi lahan tumbuh suburnya konflik. Bibitnya pun bias
bermacam-macam. Bahkan, agama bias saja menjadi salah satu factor pemicu
konflik yang ada di Masyarakat itu sendiri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar